About Hatta Syamsuddin

Rabu, 22 Juli 2009

Cerpen : Kala Cinta Menyapa Senja

“ Benarkah engkau jodoh yang diberikan Allah kepadaku ? “
Bertanya Mentari pada selembar kertas yang masih terlipat rapi di hadapannya. Pagi tadi Ummi Farah memberikan kertas itu padanya. Hampir empat tahun setelah Mentari ditanya Ummi Farah tentang kesiapannya menggenapkan separuh dien. Kini selembar biodata yang dinanti-nanti, benar-benar berada di hadapannya.
Matanya menerawang dalam diam. Menemani lintasan kenangan yang berkecamuk dalam pikirannya …..ia belum berani membuka kertas itu
……………………..
Bundaran HI, menjelang Dhuhur, empat tahun yang lampau.
Beberapa saat yang lalu, serombongan besar wanita muda berjilbab berdemo mengusung tema besar anti pornografi. Mentari bersama dua sahabatnya, Wida dan Nana, berjalan menuju halte depan hotel President.
" Tari, Wida.. ana duluan ya… tuh kak Fauzi udah nunggu di depan telpon umum ". Nana pamit sambil menunjuk ke arah seorang pemuda tegap berbaju rapi ala kantoran.
" Aduh… penganten baru, nggak sabar nih cepet sampai rumah…", goda Wida sambil melempar senyum simpulya.
"Iya, udah lupa ya sama asrama " Salsabila" tempat kita tumbuh dan berkembang "
" Maaf deh saudari-saudariku, makanya pada cepet punya suami..biar nggak ditagih ibu kos lagi tiap bulan…".
" Wuuuu…lagaknya !! "
Nana tersenyum penuh kemenangan. Sebentar kemudian ia telah meninggalkan Mentari dan Wida.

Panas Jakarta di pertengahan tahun memang cukup merepotkan. Orang-orang malas untuk terus-terusan berdiri mematung dipinggiran jalan. Setiap bus kota yang datang disambut dengan kejar-kejaran dan desak-desakan antar penumpang. Tentu saja Mentari dan Wida selalu ketinggalan. Mereka tak bisa sembarangan melompat dan bergantungan. Bisa-bisa jilbab dan jubah panjang mereka akan jadi korban.
Satu jam berlalu, tak ada kemajuan. Mereka masih setia menunggu Patas 16 yang akan membawanya ke kawasan Rawamangun. Namun langit berganti warna, panas berlalu tanpa sisa. Hujan pun mulai turun. Mentari dan Wida masih terjebak di halte. Dalam lelah yang berkepanjangan.
Mendadak….datang dua orang pemuda. Satu berambut gondrong. Satu lainnya beranting. Keduanya memakai baju khas orang kuliahan. Ada hasrat buruk tergambar dari kilatan mata mereka.
" Halo ceweek .. godain kita doong, dari kampus mana nih ? ", seorang dari mereka mulai menyapa dengan kedipan mata yang genit.
" Eh.. elo yang tadi orasi ya ? yang katanya nolak pornogafi ya ", tambah seorang lagi sambil menunjuk ke arah Mentari. Mentari dan Wida merasa terancam, mereka bergerak menjauh. Tapi dua pemuda itu masih berhasrat mendekat.
" Hei cewek, jangan munafik loo.. gue tahu loe punya pacar dan rutin kencan kan tiap malam minggu di kos-kosan.."
Muka Wida memerah dasyhat mendengar ocehan sang berandal. Jiwa petarungnya sebagai mantan atlit karate tak bisa membiarkan ini terjadi.
" Jangan sembarangan kalau bicara, kalian belum tahu berhadapan dengan siapa."
Namun gertakan Wida berlalu begitu saja. Mereka malahan tambah nekat.
" Iya, apa gunanya pake jilbab kalau sudah tidak perawan lagi. Mending jilbabnya di copot saja …., sini biar gue yang copot kalau tidak mau "
Sreeet !!! Jilbab Mentari menjadi sasaran ! Mereka menariknya dengan paksa Mentari berusaha mempertahankannya..
" Tolooooong ! Rampook ! "
Mentari berteriak meminta pertolongan. Tapi derasnya hujan meredam suaranya. Beberapa orang yang melihat dari jauh diam tak bergerak. Ketakutan.
Buuk ! Tendangan samping Wida tepat mengenai punggung seorang pemuda berandal. Ia sempat terhuyung beberapa saat. Seorang lagi masih menarik kuat jilbab yang dipakai Tari.
Buuk ! Sreeet !.Terdengar dua teriakan yang berbeda sumbernya. Satu teriakan dari pemuda berandal yang menarik jilbab tari. Ia terkena tendangan Wida tepat di titik kelemahannya. Satu teriakan lagi keluar dari mulut dan nurani Tari. Jilbab yang dikenakannya terlepas. Tetesan hujan membasahi rambutnya yang panjang.
" Tolooong …… !!! ", Mentari panik. Ia mendapati dirinya sangat asing dengan rambut yang terurai tanpa penutup. Ia merasa bagai terjebak di sarang penyamun yang haus tubuh wanita. Wida segera menarik Tari menjauh dari halte itu. Kedua berandal masih sempat mengancam dalam kesakitannya. Beruntung, sebuah Taksi tepat berhenti di depan Tari dan Wida, memberikan tumpangan.
Malampun menjelang dengan membawa seribu kesan menyakitkan dalam diri Tari. Hari itu begitu berat bagi seorang Tari. Demonstrasi yang melelahkan ditambah kejadian mengerikan di halte siang tadi.
Mendadak Tari ingat Nana, sahabatnya yang juga ikut demonstrasi siang tadi. Mentari merenung dalam kesendirian di kamar kosnya …Ah, betapa beruntungnya kau Nana, ada yang menjaga dan memperhatikanmu.… Ucapnya dalam hati
" Ya Allah, datangkanlah kepadaku seorang yang Kau janjikan untuk menemani dan meneguhkan hidupku.."
Mentari pun tenggelam dalam doa-doa yang tak pernah bosan ia panjatkan.
******************
Asrama Salsabila, pagi hari, tiga tahun yang lalu.
Pintu kamar Mentari di ketuk tiga kali. Sahabatnya, Wida, masuk memberi salam, keduanya berpelukan seolah lama tak bertemu.
" Subhanallah, my lovely Wida… bumi bagian mana yang tega menelanmu selepas wisuda Februari, tiga bulan yang lalu.. tak ada kabar, telpon atau surat ? "
" Afwan Tari, aku pulang ke Bandung. Di sana ternyata banyak proyek yang harus kugarap. Tahu sendirikan ? Papa memang dari dulu sudah nunggu lama kelulusanku. Beliau ingin aku menjadi manajer akuntan di perusahaannya. "
" its OK ukhti, tapi janji ya kamu nginep lama di sini… ada banyak cerita baru lho di kampus kita "
" Justru itu Tari.. aku ke sini memang khusus untuk menemuimu. Aku ingin kau mengetahuinya langsung dariku, meski sebenarnya bisa saja kalau aku poskan undangan ini dari Bandung.. "
" Undangan ? Walimah maksudnya ? Subhanallah… akhirnya kau menikah juga Wida.Tadinya aku kira aku yang duluan.. selamat ya… mana undangannya ? "
Wida mengulurkan sebuah undangan berwarna merah muda. Indah dan berkesan bagi penerimanya. Keduanya kembali berpelukan. Isak tangis mulai terdengar pelan. Bahagia dalam haru.
" Maaf Tari… aku harus menikah terlebih dahulu. Aku takut jika terlalu larut dalam perusahaan nanti…aku bisa sibuk dan lupa nikah. Lucu ya kedengarannya ? tapi memang begitu kemarin nasehat orangtuaku di rumah. Nah, kamu sendiri gimana kuliahnya ? "
Wajah mentari mendadak berubah muram.
" Yaah.. kamu tahu sendiri kan Mr. Bondan ? Beliau tuh sangat teliti kalo pas ngoreksi. Tapi apapun, aku usahakan September ini aku udah angkat kaki dari kampus ini. Eh… tapi jangan lupa doain ya Wid..! "
" Jelas dong… mau didoakan cepet wisuda atau cepet nikah ? "
" Cepet Nikah dong !!! eh… maksudku kalo bisa dua-duanya dapet gituu.. "
" Iya non.. aku juga tak tega membiarkanmu menjadi bidadari ketinggalan kereta ! "
Buuk ! Serasa ucapan Wida yang terakhir bagai tendangan karatenya yang tepat mengenai ulu hati Mentari. Sakit memang, tapi Tari sadar sahabatnya hanya ingin memberikan motivasi padanya untuk tetap tegar !
Selepas kepergian Wida, Tari kembali merenung dalam kamar. Tangannya asyik membolak-balik undangan Wida. Ah..ini bukan yang pertama bagi Mentari. Bukan yang pertama kali Mentari ketinggalan kereta, seperti kata Wida. Seminggu yang lalu Dina, teman seangkatannya nikah dapat anak Medan. Bahkan sebulan yang lalu malahan si centil Tasya, adik kelasnya dua tingkat, sukses di lamar teman satu jurusannya !
Tari menghidupkan PC-nya yang setia menemani hari-hari kuliahnya selama lima tahun terakhir ini. Dibukanya sebuah file di program Corel Draw. Nampak di layar sebuah desain undangan pernikahan yang anggun dan manis. Tertulis di dalamnya…
Menikah : .MENTARI CANDRASARI bin H. BASUKI dengan .. MR. MOST WANTED !!! !
Mentari termenung berkaca-kaca. File itu sudah setahun lebih dibuka dan diedit, tanpa tahu kapan akan diprint dan digunakan.
*******************
Rumah Mentari yang anggun , di sisi utara pulau jawa, dua tahun yang lampau.
Matahari pagi yang cerah menemani keluarga Mentari. Kemarin sore Tari, putri satu-satunya keluarga Haji Basuki, baru saja datang dari Jakarta. Mereka berkumpul hangat di ruang keluarga.
Hari itu terasa istimewa bagi pak Basuki, ayah Mentari, dan juga bagi ibunya. Tapi tidak bagi Mentari. ..ada seorang dari masa lalu yang tiba-tiba dibicarakan oleh bapak ibunya. Joko, pacarnya saat SMU dulu, sepekan yang lalu menelpon Haji Basuki. Tari penasaran meski ia tak merasa punya alasan untuk penasaran.
“ Bapak kenal Joko juga ya Pak ? “
“ Oo.. bukan kenal lagi Tari, Bapaknya itu kan pak Suroso too ? Beliau dulu kawan Bapak semasa masih muda merantau di Jakarta. Kami sama-sama ngontrak rumah di Tanah Abang, sebelum akhirnya Bapak dipanggil kakekmu untuk nikah sama ibumu ini.. “
“ Lalu ? apa maksudnya seminggu yang lalu ia menelpon Bapak ?“
“ Jadi begini… Nak Joko sudah mengutarakan niat baiknya untuk melamarmu. Dan pak Suroso juga secara khusus sempat menyinggung masalah ini kemarin saat telepon.. Besok pagi Joko mau ke sini khusus untuk bertemu kamu… “
Wajah Tari berubah. Seolah tak percaya dengan pendengarannya.
“ Tapi Pak ? Tari kan belum tentu menerima…… “
“ Huss ! jangan membantah dulu… yang penting besok kau temui dia. Siapa tahu cocok…Bapak dan Ibu sebenarnya terserah kamu, tapi inget Tari.. usiamu sudah tidak muda lagi..Ibumu kemarin nangis karena ada tetangga yang ngomongin kamu calon perawan tua ! “
Mentari diam. Mencoba untuk teguh meski hatinya tergugu. Dia tahu persis siapa Joko yang dulu. Meski lima tahun ia tidak ketemu, Mentari tidak yakin Joko berubah seperti yang diinginkannya.
Pagi menjelang dengan cahaya yang riang. Mencoba menyinari hati Tari yang masih bimbang. Di ruang depan, bapaknya masih sibuk dengan seorang tamu muda. Joko namanya. Pakaiannya perlente,khas eksekutif. Tumpangannya jauh dari yang Tari perkirakan. Kalau dulu saat sekolah, Joko hobby ganti-ganti motor sport. Tapi kini sebuah sedan metalik dengan anggun parkir di depan rumah Tari. Mobil Joko kah ? atau mobil orangtuanya ? Ah.. bagi Tari itu sama sekali tidak penting.
Hati Tari bergetar hebat, apalagi saat ayahnya memanggil, menyuruhnya bergabung di ruang tamu. Tari melangkah pelan. Ia merasa sorot mata Joko terarah lurus ke arahnya. Mencoba menelanjangai jibab lebar dan jubah rapi yang dikenakannya. Mendadak Tari merasa risih..…
“ Ini Tari ? waah.. sekarang pakai busana muslim ya ? Kapan pergi hajinya Tari ? bareng pak Basuki ya ? “
Pergi haji ? Apa hubungannya dengan kewajiban memakai jilbab ? Tapi Tari tidak merasa bingung. Joko masih seperti dulu. Tidak mengenal dan memahami Islam..
Tari tambah risih saat Bapak minta ijin keluar sebentar, meninggalkan Tari dalam kungkungan rasa yang menakutkan. Ini khalwat ! bisiknya dalam hati. Yang ketiga adalah setan !
“ Ada perlu apa Joko ? Ada yang bisa di bantu ? “, sapa Tari dengan gaya yang tidak dibuat-buat. Pandangannya masih tertunduk. Tegas, tapi tidak ketus.
“ Hah ! Bapak dan Ibu tidak bilang sama kamu sebelumnya ? Aku datang untuk menyampaikan niat baik melamarmu Tari… kalau kamu berkenan, seminggu lagi keluargaku akan datang melamarmu.. bagaimana Tari, kau setuju kan ? kita akan menyambung kembali cerita dan kenangan cinta kita saat SMU dulu.. “
Tari merasa terusik dengan kalimat terakhir Joko. Kali ini ia benar-benar muak. Kenangan masa lalu yang sedemikian lama telah terhapus, mencoba menghujam masuk kembali dalam diri Tari.
“ Maaf Joko, aku bukan Tari yang dulu…kau salah datang kepadaku ..”
Mata Joko melebar. Ia seperti tidak percaya Tari mengatakan hal seperti itu. Tari yang dulu selalu setia menemani hari-hari indahnya saat SMU.Kini dihadapannya bagai sosok asing yang tak pernah dikenalnya.
“ Tari !! aku datang kembali untukmu… lima tahun aku memendam cinta ini Tari…, ingatkah kau saat-saat indah kita dulu Tari…, Tari… bukankah dulu kita pernah berjanji sehidup semati, Tari, lupakah kau dengan semua itu… Tari…. “
“ Tidaaaaaaaaaak ! Kau tidak berubah Joko !Maaf, mungkin kita tidak jodoh. Titik !! “
Tari bergegas masuk kembali ke ruang dalam. Meninggalkan Joko dalam keheranan yang panjang. Sementara Bapak ibu Tari saling berpandangan heran. Mereka berdua masih menyimpan beban. Kapan putri satu-satunya akan ke pelaminan ?
Tari menangis dalam kamar. Ia menangis bukan karena Joko. Ia sama sekali sudah melupakan masa lalunya yang kelam bersama Joko. Ia menangis, karena baru kali ini ada seorang yang datang untuk melamarnya. Baru kali ini. Tapi mengapa yang datang Joko ? Pacarnya di masa lalu.
Mengapa bukan ustad Agus, Akh Budi, Mas Hanafi, Pak Irvan, Fajar, Wisnu atau teman-teman lain yang aktif di kegiatan masjid ?. Mengapa bukan mereka-mereka yang hanif dan sholih yang datang? Sehingga Tari bisa semakin teguh mengarungi hidup ini ? Kemana mereka semua ? Kemanaaa ? Tari berteriak dalam hati, menanti sebuah jawaban.
**************************

*
“ Benarkah engkau jodoh yang telah di janjikan Allah kepadaku ? “
Kembali Mentari bertanya pada kertas bisu dihadapannya. Dengan hati-hati dibukanya kertas itu pelan-pelan. Seolah didalamnya ada sesuatu yang sangat berharga.
Mentari mendapati sebuah nama yang tidak asing baginya…. Agus Budiman
“ Ustad Agus ??? Benarkah ?? Subhanallah … “,
Tari memang harus terkejut. Tentu ia tidak mempunyai alasan untuk tidak menerima Ustad Agus. Ia seorang yang mempunyai pemahaman Islam yang sangat baik. Ia seorang ustad yang sangat terkenal di kalangan teman-temannya di kampus. Buah keikhlasannya dalam membina telah melahirkan banyak kader dakwah dari masjid kampusnya.
Sungguh ! Tari tak mempunyai alasan untuk menolaknya. Apalagi jika mengingat usianya yang sudah dua tahun melewati seperempat abad ! Juga tangisan ibunya terkasih yang selalu memintanya untuk segera bersanding di pelaminan..
Tapi…. Mendadak Tari tertegun. Ingatannya kembali menerawanag. Beberapa bayang wajah anggun mengitari benaknya. Ia mengingat beberapa seniornya di kampus yang belum menikah ; Mbak Rahma, Mbak Santi…dan juga Mbak Zaenab. Mbak Rahma, pembimbing mentoringnya saat Tari belum berjilbab di tingkat satu. Usianya kini menjelang kepala tiga. Sudah dua tahun ini ia tidak banyak kelihatan. Sakit organ dalam membuatnya harus banyak beristirahat di rumah.
Lain lagi dengan Mbak Santi, dua tingkat di atasnya dulu di kampus. Sekarang sibuk bekerja di perusahaan konveksi, dari pagi sampai sore. Sesekali saat libur, masih sempat untuk diminta mengisi kajian muslimah di kampus. Mbak Santi memang harus kerja keras mencari nafkah. Ia anak sulung dari delapan bersaudara. Ayahnya sudah tiada sementara ibunya sudah cukup renta untuk bekerja. Mbak Santi adalah tulang punggung di keluarganya.
Cerita tentang Mbak Zaenab lebih memilukan. Suaminya, almarhum ustad Ahmad, meninggal tertembak saat dikirim untuk berdakwah di daerah konflik Ambon. Ia meninggalkan dua putri yang masih sangat lucu-lucu, Hana dan Aisyah. Aktifitasnya sekarang menjadi pengajar SDIT, untuk mencukupi kebutuhan hidup dua putri kecilnya.
Perlahan-lahan mata Tari berkaca-kaca. Air matanya mengambang tenang. Bayang-bayang wajah ketiga seniornya menari-nari dihadapannya. Mengapa bukan mereka yang dilamar ustad Agus ? Mengapaa ? Mereka jauh lebih berhak dan membutuhkan daripada aku …
Tililliiiiiit…..Tililiiiiit .. deringan HP memecah kesunyian lamunan Tari. Suara bijak dan salam akrab Ummi Farah terdengar dari seberang.
“ Bagaimana ukhti Tari ? bersedia bukan ? Beliau siap kapan saja bertemu untuk ta’aruf ..”
“ Engg…..begini Mi, mungkin saya perlu istikhoroh dulu.Mungkin seminggu lagi saya baru bisa ambil keputusan… “
“ Baiklah… saya tunggu ya, dan semoga Allah memberi kemudahan..”
Suara salam penutup terdengar dari arah seberang. Pembicaraan telah selesai. Namun bayang-bayang Mbak Rahma, Santi, dan Mbak Zaenab masih setia mengiringi langkah Tari.
*****************************
Dua bulan berlalu. Hari yang bahagia. Suasana walimah yang meriah namun terjaga nuansa kesyahduannya. Tamu laki-laki duduk terpisah dari tamu perempuan. Terdengar aluanan nasyid pernikahan menggetarkan hati pendengar lajangnya.
Tari duduk anggun berseri-seri. Jilbab dan bajunya yang rapi menambah suasana hatinya yang lega dan tenang. Dengan perlahan Tari melangkah, menemui seorang wanita yang jadi pusat perhatian para tamu sedari tadi. Di sisi wanita itu ada dua putri cantik yang masih kecil-kecil. Tari menyalami haru wanita tersebut. Keduanya berpelukan.
“ Mbak Zaenab, Barakallahu lakuma wa baraka alaikuma wa jama’a bainakuma fi khoiriin… selamat ya Mbak semoga bahagia dan berkah menyertai keluarga baru Mbak..”
“ Jazakillah khoiron ya dik, semoga dik Tari juga cepat menyusul ya..Nanti saya minta mas Agus mencarikan khusus buat dik Tari ya.. beliau kan punya kenalan banyak.. “
“ Amiin… doanya ya Mbak..Tari tunggu lho janjinya.hehe...”
“Insya Allah…. “
Lega dalam rasa bahagia dan syukur yang terpanjatkan. Tari berpamitan dan melangkah pulang. Mencoba merenda hari-hari penantian yang baru. Jiwanya tenang. Tidak ada penyesalan. Ia ingat persis, saat selesai sholat istikhoroh dulu, yang muncul selalu saja bayang-bayang Mbak Rahma, Mbak Santi, dan Mbak Zaenab. Wajah ustad Agus tak pernah terlintas dalam malam-malam istikhorohnya.
Kini. dalam hari-hari penantiannya, Tari yakin, ia tidak sendiri. Sebagaimana juga ia yakin, akan ada sesosok laki-laki hanif yang akan menyapanya dengan cinta. Entah satu bulan lagi, dua bulan, satu tahun, atau entah saat senja nanti. Ia yakin Allah telah menjanjikan sebuah cinta yang akan datang menyapanya.
“ Ya Allah, datangkanlah kepadaku seseorang yang akan meneguhkanku dalam hidup ini, dan berikan kesempatan kepadaku untuk berbakti kepadanya, melahirkan dan merawat anak-anaknya untuk menjadi anak sholih. Agar saat kami telah renta atau telah tiada, akan ada mereka yang senantiasa mendoakan kami berdua“

Arkawit, 9 Agustus 2004
Terinspirasi dari nasyid SP ‘ Bergegaslah’
Untuk para ‘senior’ : Kapan kau sapa mereka ?

0 komentar:

Posting Komentar